Eka Januar - Rasanya sudah terlalu jenuh untuk mengulas APBA |
Oleh: Eka Januar
Rasanya sudah terlalu jenuh untuk mengulas tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA), hampir setiap hari di media massa baik cetak maupun elektronik masalah APBA selalu menjadi topik dikusi yang hangat, banyak analis maupun pengamat mencoba memberikan pandangan maupun menawarkan solusi supaya APBA dapat disahkan tepat waktu dan tidak sedikit pula masyarakat diwarung kopi maupun media sosial meluapkan kekesalannya dengan menumpahkan sumpah serapah, namun yang menjadi ironi, sekuat apapun tekanan (presure) yang dilancarkan oleh berbagai kalangan masyarakat Aceh tidak pernah membuat elit politik di Aceh baik itu legislatif maupun eksekutif merasa terusik dan malu bahkan mereka terkesan masa bodoh dan cuek, melihat fenomena ini maka rasanya tidak terlalu kasar jika kita mengatakan kalau elit politik Aceh sudah tuli dan buta.
Keterlambatan pengesahan APBA sudah menjadi drama awal tahun yang senantiasa diputar kembali ditahun berikutnya, dalam beberapa tahun terakhir kita tidak pernah menyaksikan APBA disahkan tepat waktu sebagaimana ketentuan yang ada maka APBA untuk tahun anggaran 2018 seharusnya disahkan desember 2017, tarik ulur kepentingan dan politik transaksional antara legislatif dan eksekutif berakibat kepada terlambatnya pengesahan APBA padahal pembangunan Aceh sangat tergantung kepada APBA dengan lambatnya pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh berefek kepada tersendatnya pertumbuhan ekonomi Aceh.
Kejadian ini akan beimplikasi kepada tingkat kemiskinan dan pengangguran di Aceh semakin meningkat berdasarkan data dari badan Pusat Statistik Provinsi Aceh tahun 2017 jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 872 ribu jiwa atau 16,89 persen dan jumlah pengangguran di Aceh mencapai 150 ribu jiwa dan melihat data yang ada maka sangat terbuka peluang pengangguran dan kemiskinan akan semakin tinggi pada tahun 2018 seharusnya pemerintah Aceh baik itu legislatif maupun eksekutif harus lebih arif dan bijaksana dalam mengambil setiap tindakan politik yang menyangkut APBA.
Elit Tak Setia
Kata-kata setia seakan-akan menjadi hal yang tabu dalam politik praktis, padahal legislatif dan eksekutif yang merupakan perwakilan serta representasi langsung dari rakyat, seharusnya mereka menjadikan rakyat sebagai raja karena tanpa rakyat mereka tidak mungkin bisa duduk dilembaga dewan yang terhormat, walaupun setelah dipilih mereka jarang masuk kantor karena asik dinas luar atau sibuk dengan urusan pribadi yang jika dikaji lebih mendalam tidak membawa manfaat sama sekalibagi rakyat. Sehingga jangan heran disaat ada sidang membahas perkara tentang rakyat jumlah anggota dewan yang hadir sangat sedikit sehingga wajar kalau kita bertanya sebenarnya untuk apa mereka dipilih? dan apa fungsi mereka, melihat fenomena dan dinamika ini maka sangatlah wajar kalau APBA 2018 terlambah disahkan karena mereka pada dasarnya tidak pernah berfikir untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Masalah APBA 2018 tentunya bukan hanya masalah legislatif dan eksekutif semata namun disini juga ada masalah dengan eksekutif juga, pemerintah Aceh dibawah kepemimpinan Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah pada awal-awalnya sangat menimbulkan rasa optimisme yang tinggi rakyat Aceh terhadap pasangan tersebut, namun setelah beberapa bulan terpilih maka rasanya rakyat juga tidak bisa berharap banyak pada pemerintahan tersebut karena ditakuti akan menimbulkan luka dan kekecewaan lagi sama halnya seperti pada masa pemerintahan sebelumnya.
Irwandi lebih memilih pergi keluar negeri dengan alasan mencari investor padahal jika kita melihat kejadian yang ada maka investor yang sudah ada saja lari dari Aceh seperti halnya investasi terhadap pabrik Semen di Pidie, sebenarnya Aceh memiliki daya tarik bagi investor, namun Aceh tidak nyaman bagi inverstor untuk melakukan Investasi karena ada segudang masalah di Aceh terutama masalah internal, dan seharusnya sebelum pemerintah Aceh mengundung para investor terlebih dahulu menyelesaikan persoalan internal sehingga Aceh menjadi daerah yang nyaman untuk melakukan investasi.
Kita tentunya masih ingat bagaimana pada masa awal Aceh sewaktu pemerintahan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar, kemudian pada masa pemerintahan Zaini Abdullah-Muzakir Manaf, mereka mengundang banyak investor ke Aceh bahkan mereka juga pergi keluar negeri untuk membangun kerjasama secara langsung namun sampai dengan saat sekarang ini kita bisa melihat berapa banyak para investor yang melakukan investasi di Aceh. Bukannya kita pesimis namun mendatangkan investor itu memerlukan persiapan dan pembenahan baik itu secara internal maupun eksternal. Pemerintah Aceh seharusnya tau mana yang harus didahulukan dan mana yang bisa dikemudiankan, membangun Aceh memerlukan keseriusan serta tanggung jawab, apabila elit-elit sibuk dengan urusan pribadi serta lebih mendahulukan kepentingan kelompok masing-masing maka jangan pernah bermimpi Aceh akan bisa maju sebagaimana harapan kita semua.
Dana otsus yang begitu banyak tidak akan pernah membawa manfaat bagi rakyat. Tentunya kita berharap agar elit-elit di Aceh terbuka hatinya dan sadar kalau apa yang mereka lakukan tidak hanya dinilai oleh rakyat namun juga akan diminta pertanggung jawabannya oleh Allah swt di hari kiamat kelak, gaji dan fasilitas yang mereka nikmati merupakan hasil pajak yang dipungut dari rakyat kecil. Maka sungguh zalim jika mereka mengenyampingkan kepentingan rakyat karena mendahulukan kepentingan mereka sendiri, Wallahu`alam
*) Penulis adalah Dosen Ilmu Politik UIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Pengamat Parlemen dan Pemerintah Aceh