English
Monetize your website traffic with yX Media
Gedung Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. FOTO/ugm.ac.id
Gedung Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada
IndonesiaKini- Menginjak hari terakhir pendaftaran Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun 2006, pikiran Irfan Satryo Wicaksono diselimuti kebingungan. Pria lajang yang saat ini berumur 30 itu ingin sekali jadi mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM). Tapi dia belum tahu jurusan yang hendak dipilih. Bermodal uang lima ribu rupiah, Irfan pun menyewa satu bilik komputer di warnet dekat rumah. Dalam naungan cahaya lampu temaram, dia melihat layar komputer dengan saksama. Sebelumnya ia ikut ujian mandiri UGM. Namun dia tidak diterima. Tidak mau gagal lagi, Irfan lantas mencari tahu jurusan-jurusan di UGM yang tingkat persaingannya paling kecil. Ada lima jurusan masuk ke kategori itu.

Salah satunya Filsafat. "Aku pilih Filsafat. Persaingannya 1 banding 5. Dari lima pendaftar, satu orang pasti diterima," kata Irfan kepada saya, Kamis (20/6/2019). Strateginya berbuah manis. Ia diterima di UGM. Meski bapaknya kurang setuju bila anaknya kuliah di jurusan Filsafat, Irfan jalan terus hingga ia lulus dari jurusan itu pada 2014. Berbeda dengan Irfan, Pascal Caboet (24) justru didorong ayahnya untuk mengambil jurusan Filsafat UGM. Ia menempatkan jurusan itu di pilihan pertama ketika mendaftar Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) jalur undangan, walau banyak kawan dan sanaknya bertanya, "Kalau mengambil jurusan Filsafat, mau kerja apa nanti?"

Bagi Caboet, orang yang mengajukan pertanyaan itu kepadanya seperti tidak habis-habis. Padahal pertanyaan serupa juga patut diajukan kepada orang yang kuliah di jurusan selain Filsafat. "Mungkin kalau jurusan Ekonomi sudah jelas pekerjaannya [kelak]. Mahasiswa Hukum juga, bisa jadi pengacara. Orang mungkin tidak tahu alumni Filsafat jadi apa," katanya ketika diwawancarai Tirto, Jumat (21/6/2019). Namun, sejak awal, Caboet tidak terlalu ambil pusing. Menurut orang kelahiran Klaten ini, kuliah itu sejatinya untuk mencari ilmu. Kalau memang mau bekerja, menurut Caboet, ambil saja kuliah di institut atau akademi kedinasan yang dibikin untuk memasok pekerja ke lembaga tertentu. "Orang tua aku juga sepaham dengan itu. Ngapain takut, enggak kerja kok takut? Orientasi saya memang bukan bekerja ketika lulus kuliah. Pertanyaan yang seharusnya diajukan itu ialah aku bisa buat apa setelah kuliah? Nah, Filsafat atau ilmu yang didapat selama kuliah ada untuk menjembatani itu," kata Caboet.
"Sekolah Tanpa Faedah" Mendengar cerita Irfan dan Caboet, saya ingat anekdot yang dikisahkan guru pengampu mata pelajaran Fisika ketika saya SMA. Kata dia, filsuf itu tugasnya berpikir. "Jangan kaget melihat mahasiswa filsafat duduk bengong sambil menatap langit-langit saat kuliah di kelas," kata guru saya sambil memperagakannya. Perihal ini, Caboet mengatakan anekdot itu jangan ditelan mentah-mentah. Pertama, mahasiswa memang lazimnya duduk saat kuliah di kelas, bukan berdiri. Kedua, cara orang dalam berpikir beragam, ada yang senang menatap langit-langit, ada yang tidak. Dua hal ini, kata Caboet, tidak hanya ditemui di jurusan Filsafat, tetapi juga ditemui di jurusan lain. "Murid-murid gurumu kalau di kelas juga ada yang bengong, toh, waktu berpikir? Perkuliahan di Filsafat sama seperti jurusan lain. Ada dosen. Ada mahasiswa. Ada mata kuliah," kata Caboet. Kawan Caboet yang berbeda jurusan juga kerap berseloroh ketika mempromosikan jurusan-jurusan kepada siswa SMA kelas IX.

"Nih, kalau kuliah di Filsafat, kamu bakal disuruh membahas meja. 'Apa itu meja? Kenapa Meja ada?'" Caboet menirukan kawannya. Caboet tidak heran dengan seloroh itu. Jurusan Filsafat pada dasarnya membimbing mahasiswa untuk mempelajari teknik berpikir. Mungkin ini yang membuat orang-orang menyebut mahasiswa jurusan Filsafat gemar mempertanyakan apa saja, termasuk meja. "Bisa saja bahas meja. Meja itu mau dikaji dari segi apa saja yang penting pisau analisisnya filsafat. Tidak cuma meja, lirik lagu Iwan Fals, lirik lagu Senartogok juga bisa dikaji dalam Filsafat," sebut Caboet. Caboet betul. Karena keluwesan jurusan ini, Khrisma Wibisono mengkaji konsep pendidikan Summerhill School dalam skripsinya di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara. Ia tertarik mengkaji filsafat pendidikan karena merasa kurang menikmati proses pendidikan yang ia jalani sejak sekolah dasar.

"Sekolah itu dibuka untuk anak-anal yang stres, depresi, dan semacamnya. Kurikulumnya dibuat bebas. Siswa diberikan kebebasan memilih mata pelajarannya sendiri. Kalau dia pilih lima mata pelajaran, guru bakal mempertanyakan: apa kuat? Kalau mau main-main dulu di sekolah juga enggak masalah," ujar Khrisma ketika diwawancarai Tirto, Jumat (20/6/2019). Selain itu, lantaran semasa kuliah Filsafat dilatih untuk berpikir dan merasa, menurut Anugerah Bayu, alumni STF Driyarkara, diam-diam mahasiswa Filsafat sebetulnya tengah diatih kemampuan softskill-nya. Softskill inilah yang jadi bekal mahasiswa Filsafat di dunia kerja. Yang dia rasakan betul ketika kuliah Filsafat ialah tuntutan untuk membaca pelbagai teks dan menelaahnya.

"Filsafat melatih kita untuk tekun serta bekerja keras untuk meneliti," sebut Bayu. Walaupun kampusnya kerap dipelintir jadi "Sekolah Tanpa Faedah" karena dianggap sering mengkaji hal-hal yang tidak ada kegunaannya, menurut Bayu hal itu juga diam-diam membimbing para mahasiswanya untuk memahami arti meneliti sesuatu tanpa kepentingan alias mencari kebenaran untuk kebenaran itu sendiri. Integritas peneliti dilatih di situ. "Riset bayaran dan segala macamnya adalah salah satu kelemahan pendidikan kita. Ilmu tidak pernah dicari kaitannya dengan moralitas. Padahal itu berkaitan erat," sebut Bayu ketika dihubungi Tirto, Jumat (21/6/2019).

Selepas mendapat gelar sarjana, Bayu melanjutkan studi magister Filsafat di STF Driyarkara. Sekarang dia bekerja di Center for Indonesian Taxation Analysis, pusat studi kebijakan perpajakan dan pengelolan APBN Indonesia. Sedangkan Khrisma sempat mengajar di sebuah sekolah di Surabaya. "Filsafat berpengaruh terhadap caraku mengajar. Kalau menjelaskan konsep, aku bakal cerita asal-usul konsep itu. Biar anak itu paham akar konsepnya," sebut Khrisma. Baca juga: Baku Hantam karena Filsafat dan Hal Abstrak Lainnya, Wajarkah? Filsafat Bikin Ateis? Berdasarkan penelusuran data Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), Tirto menemukan setidaknya 47 perguruan tinggi di Indonesia memiliki jurusan bernama filsafat untuk jenjang sarjana.

Lima belas perguruan tinggi di antaranya merupakan swasta. Sebanyak 30 lainnya perguruan tinggi keagamaan Islam yang bernaung di bawah Kementerian Agama. Sedangkan dua sisanya merupakan perguruan tinggi di bawah Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) dan bisa didaftar lewat Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2019. Dua kampus itu adalah UGM dan Universitas Indonesia (UI). Sepengalaman Bayu, di jurusan Filsafat, mahasiswa dibimbing untuk mempelajari, pertama, sejarah filsafat; kedua, topik tematik besar dalam Filsafat. Mahasiswa dapat memilih cabang mana yang ingin dia dalami.

Di sejarah filsafat, mahasiswa bakal mempelajari pemikiran-pemikiran tokoh filsafat. Mereka merentang dari sebelum Socrates, setelah Socrates (Socrates, Plato, dan lain-lain), Abad Pertengahan (Agustinus hingga Thomas Aquinas), Modern (Rene Descartes hingga Friederich Nietzsche), hingga kontemporer (pasca-Nietzsche). Sedangkan topik tematik besar dalam Filsafat biasanya mencakup metafisika, membahas dasar-dasar realitas; epistemologi, membahas ilmu pengetahuan; etika, membahas baik-buruk manusia sebagai manusia; dan politik, mempertanyakan legitimasi kekuasaan.
Sayangnya, tidak semua informasi mengenai apa yang bakal dipelajari di jurusan Filsafat diketahui, atau setidaknya disampaikan pihak SMA kepada, para siswa. Ketika duduk di kelas XII, Noorca Maya Regita tidak begitu tahu apa yang bakal dia pelajari di jurusan Filsafat. Saat itu ia menempatkan jurusan Filsafat UI di pilihan keduanya lewat jalur SNMPTN. Di pilihan pertama, ia menaruh jurusan Arsitektur UI.

"Setelah daftar, saya cari tahu, tapi tidak terlalu dalam. Ekspektasi bakal belajar apa masih sangat abu-abu pada saat itu. Akan belajar tentang apa ya nanti? Apakah banyak hafalan teori-teori filsuf? Sempat terpikir salah tidak, ya, milih jurusan ini? Bacaannya kayaknya bakal tebal-tebal banget," sebut Noorca ketika saya hubungi, Jumat (21/6/2019). Ketika diterima dan kuliah di Filsafat UI, Noorca senang betul. Kuliah di situ mengajarkannya untuk melihat suatu masalah dari pelbagai sudut pandang dan tidak ad hominem. Namun, kawannya dari jurusan lain kerap bertanya kepadanya, "Apakah kuliah di Filsafat bisa bikin orang ateis?"
Menurutnya hal demikian tidak sepenuhnya benar. Memang, orang yang belajar filsafat dituntun untuk membongkar hal-hal yang dipercayainya secara dogmatis. "Kami melihat fenomena secara kontekstual. Kapan fenomena tersebut terjadi, di mana wilayahnya, situasi politik seperti apa yang sedang terjadi, dan banyak aspek lainnya untuk mencari tahu dan memvalidasi sebuah kebenaran itu sendiri. Hingga saat menjalani kepercayaan tersebut kami sudah memiliki pengetahuan yang lengkap," ujar Noorca.

Sementara itu Bayu mengatakan memang ada kecenderungan memudarnya persoalan ketuhanan di Filsafat Barat, terutama sejak abad ke-17 sampai ke-20, seiring berkembangnya sains dan teknologi. Dalam Filsafat Barat era Modern, akal budi menempati kedudukan sangat penting. "Ciri modern itu memahami dunia tanpa otoritas. Kecuali akal budi. Otoritas keagamaan ditangguhkan terlebih dahulu. Mungkin ada kaitannya dengan hal itu. Tapi tidak selalu. Keputusan untuk menjadi ateis itu, kan, pada orangnya itu sendiri," sebut Bayu.(IK)
أحدث أقدم