Jakarta - Banjir kembali melanda Jakarta pada Senin 5 Februari 2018. Air kiriman dari Bogor dan tumpahan air dari langit merendam 12 kecamatan, hingga ketinggian 2 meter. Hujan deras juga memicu longsor di underpass Bandara Soekarno Hatta, merontokkan beton bermasalah, hingga menimpa sebuah mobil yang kebetulan melintas.
Dianti Dyah Ayu, satu dari dua orang di dalam kendaraan itu, tewas. Perempuan 25 tahun itu tutup usia setelah 13 jam lebih bertahan hidup dalam mobil yang tertindih beton berat.
Sayangnya, nestapa akibat banjir belum akan berakhir. Warga Jakarta diminta siaga hingga pertengahan bulan ini. Apalagi, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi, puncak musim penghujan di Ibu Kota baru berakhir pada 16 Februari 2018. Sementara, ancaman banjir kiriman dari hulu masih membayangi.
Banjir Jakarta terjadi hampir tiap tahun. Jadi bencana langganan, bahkan sejak Kerajaan Tarumanegara hingga era kolonial, saat Ibu Kota masih bernama Batavia dengan kanal-kanal yang digali untuk menghalau air.
Namun, banjir sejatinya bukan takdir. Ada cara untuk menanggulangi, atau setidaknya menguranginya.
Direktur Jenderal Sumber Daya Air (SDA) Kementerian Pekerjaan Umun dan Perumahan Rakyat (PUPR) Imam Santoso mengatakan, ada sejumlah penyebab mengapa air bisa mengepung Jakarta.
Salah satunya terkait normalisasi sungai. Ia mengatakan, sungai-sungai di Jakarta sudah mengalami penyempitan. Dalam skala luar biasa. Akibatnya, rumah-rumah yang dibangun di bantaran kali rentan banjir.
Salah satu pencegahan banjir adalah dengan membuat tanggul. Bukan tumpukan karung berisi pasir, melainkan benteng penahan yang permanen.
Imam mengatakan, wilayah yang terendam banjir sejak Senin malam merupakan daerah yang belum ditanggul.
Menurut dia, 40 persen hilir Sungai Ciliwung belum ditanggul karena terkendala pembebasan lahan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum menepati janji untuk membebaskan lahan di bantaran kali.
"Selasa dini hari pukul 02.00 WIB saya sempat memantau. Di daerah yang sudah ditanggul, banjir hanya melintas 5 cm di atas tanggul. Tapi cuma sebentar," ujar Imam kepada portal.suararakyat.cf, Jakarta, Selasa.
Imam menambahkan, Kementerian PUPR memiliki masterplan untuk mengurangi banjir di Jakarta. Selain membangun tanggul, Kementerian PUPR telah menambah kapasitas beberapa pintu air. Misalnya, di Pintu Air Karet. Pemerintah menambah satu pintu sehingga dapat dialiri hingga 700 meter kubik per detik.
Ada juga normalisasi Sungai Ciliwung dari daerah TB Simatupang hingga Manggarai sepanjang 19,5 kilometer. Namun, program ini belum seluruhnya teralisasi karena terkendala pembebasan lahan.
Pemerintah pun telah membuat sodetan Ciliwung ke Banjir Kanal Timur. "Kami juga tengah membangun dua bendungan, Sukamahi dan Ciawi. Kedua bendungan ini akan selesai pada 2019," kata Imam.
Lalu, mampukah jurus-jurus itu membebaskan Jakarta dari banjir?
"Jakarta bebas banjir itu anggapan yang salah," kata Imam. "Begini, tidak ada bebas banjir. Negara tetangga, bahkan Amerika, Singapura tetap banjir. Yang bisa dilakukan, bagaimana mengurangi intensitas banjir, bagaimana mengurangi sisi genangan, bagaimana mengurangi lama genangan," lanjut dia.