English
Monetize your website traffic with yX Media
Wakil Bupati Aceh Singkil, Sazali menyerahkan berita acara kerjasama investasi dengan Joungwon, Park Direktur Pacific Bio Co.LTD konsorsium (khan, suho) di aula Setdakab Aceh Singkil, Rabu (17/1/2018)

TENGGELAM pada cerita kemajuan di masa lalu, namun tak memiliki strategi jitu untuk menjadikan Aceh sebagai kawasan tujuan investasi, adalah sebuah candu, yang justru akan membuat kita tidak akan pernah beranjak dari titik pijak saat ini. Aceh yang gilang-gemilang, baru akan tercapai bila pembenahan dilakukan secara serius, bukan sekadar pencitraan.
Saya terkejut ketika mengetahui bahwa Aceh berada di peringkat terbawah dari 34 provinsi di Indonesia, yang menjadi daerah tujuan investasi pada 2017. Apa yang membuat para investor tak kunjung melirik Aceh? Padahal negeri ini memiliki kekayaan yang sudah dikenal sampai ke ujung dunia. Konflik yang melanda kawasan ini juga merupakan bagian tidak terpisahkan, karena pengerukan kekayaan Aceh secara tidak adil oleh pemerintah pusat.
Sejatinya saya tidak boleh terkejut dengan data tersebut. Bukankah selama 13 tahun perdamaian, kita dapat meraba bahwa Aceh belum dibangun secara serius. Banyak proyek-proyek yang awalnya direncanakan sebagai modal untuk memulai pembangunan ekonomi di Aceh, namun pada akhirnya tidak satu pun yang tuntas dan mampu bergerak. Berbagai pabrik yang dibangun, mulai pabrik minyak jarak sampai pabrik keramik, tapi tak ada satu pun yang beroperasi.
Sempat berharap
Banyak pihak yang sempat berharap bahwa pasca-berakhirnya masa tugas Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) NAD-Nias, Aceh bisa memanfaatkan momentum untuk bangkit. Sebagai satu kawasan yang sudah diketahui oleh seluruh dunia, daerah ini memiliki segalanya untuk segera memandirikan diri. Apalagi bila memanfaatkan buble economy yang ditinggalkan oleh lembaga setara kementerian itu. Namun lagi-lagi, Pemerintah Aceh seperti tidak terkoneksi dengan program BRR. Semua kemewahan yang ditinggalkan BRR menjadi tidak bermakna. Aceh tetap berjalan sendiri, seperti yang sudah-sudah.
Iklim politik yang masih terkesan “bar-bar” dan acuh tak acuh, hanya fokus pada pemilu, serta berkembangnya rent seeking economy membuat Aceh benar-benar tidak menarik bagi calon investor. Hingga 2014 lalu, dari 170 kesepakatan investasi yang masuk ke Aceh, hanya tiga atau empat yang berhasil direalisasikan. Selebihnya, nihil. Di sisi lain, serapan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) juga selow dari tahun ke tahun.
Hal itu menunjukkan bahwa kapasitas Pemerintah Aceh dalam membangun daerahnya patut dipertanyakan. Ini, tentunya, juga menjadi catatan bagi investor luar. Fakta lainnya, tidak kunjungnya Aceh menjadi tujuan investasi karena infrastruktur yang kurang memadai, korupsi yang tinggi, serta ketidakpastian hukum.
Kala kita berbicara sejarah kehebatan Aceh masa lalu, yang selalu menjadi perbincangan hangat adalah perihal hebatnya Aceh di mata dunia. Cerita tentang ramainya bandar di Aceh dikunjungi oleh pedagang dari berbagai belahan dunia, dijadikan pelabuhan Aceh sebagai tempat menjual hasil bumi, serta banyaknya produk Aceh yang dibutuhkan dunia.
Tapi kita lupa satu hal, bagaimana ekonomi Aceh dibangun oleh nenek moyang kita? Apakah semua kehebatan masa lalu itu datang sekonyong-konyong hanya karena Aceh ini memiliki karomah yang semata dianugerahkan Tuhan? Ataukah semua itu datang berkat kerja keras dan kerja cerdas pemerintah Aceh di era lampau?
Aceh masa lalu --ketika sedang jaya-jayanya-- tidak dibangun dalam semalam, tidak sim salabim avra cadavra. Tetapi diawali dengan perencanaan yang sangat bagus. Sebelum membuka diri kepada dunia luar, Aceh telah menyiapkan sumber daya termasuk infrastruktur yang sangat memadai. Kualitas menjadi perhatian penguasa Aceh kala itu. Sehingga produk pertanian yang dibutuhkan dunia, ada di Aceh dengan kualitas yang super. Itu sebabnya pedagang luar berbondong-bondong datang ke Aceh.
Lebih baru Lebih lama