Pramugari Berhijap |
Oleh Muhammad Yakub Yahya
DUA waktu yang paling menyesakkan dada, saat penerbangan --menurut pengakuan sebagian saudara kita yang sering naik pesawat-- yaitu saat lepas landas (take off) dan saat mau mendarat (landing). Rata-rata raut wajah penumpang, baik dia yang duduk manis di seat bisnis, maupun duduk berdekatan di kelas ekonomi, masam dan tegang. Wajahnya lemas, waktu mesin turbo di ujung landasan pacu (runway) itu meraung keras, pertanda dia akan take off. Wajah lesu juga, saat burung besi itu akan landing.
Disambung lagi oleh sebagian penumpang lain, bahwa gaya orang di terminal udara, sebagiannya itu hanya kepura-puraan. Keceriaan pemegang boarding pass itu, sebagian ada yang dibuat-buat, seakan-akan ingin memperlihatkan pada para pengantar atau penjemput, bahwa “sayalah yang berkelas”. Padahal selama dalam penerbangan, jantungnya berdegup kencang. Tapi penumpang pesawat yang masuk ruang keberangkatan dan kedatangan, seakan paling bergaya dengan menarik koper beroda dua itu. Sebenarnya yang paling bergaya ialah penumpang mobil di jalan raya, apalagi mobil pribadi lunas kredit.
Sesekali terdengar, ada yang sudah “muak” naik pesawat. Kalau bukan karena tugas dan tuntutan, konon apalagi sering tak tersisa uang saku, saat pulang bersama anak istri, dia memilih tak berangkat. Apalagi jika perjalanan dinas dua dan tiga hari, jika terlalu jauh jalan-jalan ke luar arena acara, atau doyan menjajakan jajanan, maka yang tinggal cuma utang dengan travel, atau bon dengan bendahara di dinasnya.
‘Menyesakkan dada’
Sebenarnya selain saat berangkat di embarkasi dan waktu tiba di debarkasi, ternyata ada satu lagi saat yang paling “menyesakkan dada” sebagian pengguna jasa maskapai. Selain sesak dada, juga sesak nafas. Itulah saat seorang pramugari meliuk-liuk di depan mata penumpang. Baik dia sendiri saat penumpang pergi dan pulang, maupun saat satu satu tim dari perusahaannya keluar bandara, dengan seragam indah. Terkadang dia mondar-mandir, ke depan dan ekor pesawat, saat dijadwalkan ada maskapai yang sediakan makanan pokok dan snack.
Sebenarnya selain saat berangkat di embarkasi dan waktu tiba di debarkasi, ternyata ada satu lagi saat yang paling “menyesakkan dada” sebagian pengguna jasa maskapai. Selain sesak dada, juga sesak nafas. Itulah saat seorang pramugari meliuk-liuk di depan mata penumpang. Baik dia sendiri saat penumpang pergi dan pulang, maupun saat satu satu tim dari perusahaannya keluar bandara, dengan seragam indah. Terkadang dia mondar-mandir, ke depan dan ekor pesawat, saat dijadwalkan ada maskapai yang sediakan makanan pokok dan snack.
Sesekali wanita yang berambut sebahu atau disanggul itu, jajakan makanan dan produk dari mitranya. Penumpang yang ingin tidur, tidur-tidur ayam pun, tak nyaman membayangkan gemulainya sang pramugari di sampingnya, dengan bau harum pula. Apalagi ada pramugari yang minta dibantu, yang menuntut dia rebahkan badan. Maka saat pramugari membungkuk, aduh dan astaghfirullah, penumpang dari belakang dan dari seat depan, sama-sama dapat film pre alias nonton film gratis. Saat pramugari dan pilotnya masuki hotel di Banda Aceh pun, jadi pusat perhartian tamu hotel lain.
Apalagi sambilan pesawat masih mutar-mutar di bandara, gadis semampai di tengah jalan itu, rutin dan wajib simulasikan alat peraga keselamatan penumpang. Begini cara pakai tabung oksigen, begitu cara kenakan baju pelampung. Dengan rok mini yang ada belahan di bawah belakangnya, nona manis atau nyonya cantik itu, sangat percaya diri tampil maksimal.
Sebagian perusahaan memang membolehkan pramugari dari wanita yang sudah kawin, dengan persyaratan tertentu. Sebab yang penting bukan dara bersuara lembut, mau menunda nikah, sudah nikah, atau belum kawin. Namun yang terpenting, kapasitas dia dalam melayani, menarik penampilan, smart, komunikatif, dan aduhai, selama layani penumpang. Sesekali ada penerbangan ke Aceh, yang dibantu pramugari pria (pramugara), yang busananya lumayan sopan.
Busana pramugari yang rute ke Aceh, pekan ini lagi disorot, seiring dengan berita politik di dewan, hukum di pengadilan, dan korban lakalantas di jalan raya. Akhir bulan lalu, dan awal bulan ini, seakan ada relevansi ketiga berita ini. Pertama, pemberitaan pembinaan waria di Aceh Utara. Dalam pemberitaan media, aparat keamanan merazia sejumlah salon di Kecamatan Lhoksukon dan Kecamatan Tanah Jambo Aye. Kapolres AKBP Ahmad Untung Surianata yang sempat diperiksa tim Propam, telah mendapat apresiasi dari berbagai kalangan. Seakan-akan sedikit “gerhana” bagi masa depan anak Aceh, akan sirna dengan kita lebih kompak dalam membina LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender).
Kedua, berita gerhana bulan akhir bulan. Kekuasaan Allah malam kemarin, dengan penampakan fenomena gerhana bulan; bulan merah (blood moon), bulan biru (blue moon), dan bulan purnama (super moon), tidak lebih menggugah, dari pada ketergugahan kita pada busana saudara kita yang belum syar’i, yang “berbusana tapi telanjang”. Ketiga, berita ajakan bagi pramugari ke Aceh untuk berjilbab. Bisa jadi lebih masygul “gerhana mata” penumpang di bumi dan di langit, yang melotot mata pada betis pramugari, saban hari selama penerbangan, dari pada gerhana bulan dan matahari yang jarang terjadi di langit.