Eks kilang Arun NGL Co, salah satu landskap Kawasan Ekonomi Khusus Arun Lhokseumawe |
Oleh Bulman Satar dan Miswar Fuady
PEMERINTAH Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah mengusung jargon “Aceh Hebat” dalam masa lima tahun pemerintahan mereka ke depan. Mengingat APBA kita yang masih sangat terbatas, maka sejauhmana peluang semangat “Aceh Hebat” ini terwujud akan sangat tergantung pada kesiapan Pemerintah Aceh memanfaatkan momentum dan mengoptimalkan peluang sembari memelihara dan mempertahankan dukungan pemerintah pusat terhadap pembangunan Aceh, tentu di luar peluang kerja sama luar negeri dan investasi asing yang juga perlu dijajaki.
Ini sudah harus dipikirkan oleh Pemerintah Aceh karena di tengah kultur dan siklus “ekonomi ketok palu”, Aceh masih sangat membutuhkan dukungan sumber daya anggaran untuk menjamin keberlanjutan pembangunannya. Untuk itu cara pandang Pemerintah Aceh harus jauh ke depan dengan sedini mungkin mengantisipasi kebutuhan ini dengan menciptakan program-program investatif berupa pengembangan kawasan-kawasan ekonomi khusus dan strategis di Aceh. Melalui skema legal, penetapan kawasan-kawasan inilah Aceh setidaknya mendapat garansi keberlanjutan dukungan APBN dalam membiayai pembangunannnya; sejalan dengan komitmen Gubernur Irwandi untuk tidak semata-mata bergantung pada APBA.
KEK Barat-Selatan
Aceh sendiri sampai saat ini baru memiliki dua kawasan ekonomikhusus dan strategis yang telah ditetapkan pemerintah pusat, yaitu Sabang, berdasar PP No.2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun berdasar PP No.5 Tahun 2017 tentang KEK Arun Lhokseumawe. Sementara yang kini sedang dalam tahap persiapan adalah Kawasan Strategis dan Khusus Dataran Tinggi Gayo Alas (KSK-DTGA). Dalam konteks keberlanjutan pembangunan Aceh ke depan, Pemerintah Aceh perlu mengusulkan satu kawasan lagi di Aceh sebagai kawasan ekonomi khusus, yakni kawasan pantai Barat-Selatan yang mencakup delapan kabupaten/kota yaitu Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya (Abdya), Aceh Selatan, Kota Subulussalam, Aceh Singkil, dan Simeulue.
Aceh sendiri sampai saat ini baru memiliki dua kawasan ekonomikhusus dan strategis yang telah ditetapkan pemerintah pusat, yaitu Sabang, berdasar PP No.2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun berdasar PP No.5 Tahun 2017 tentang KEK Arun Lhokseumawe. Sementara yang kini sedang dalam tahap persiapan adalah Kawasan Strategis dan Khusus Dataran Tinggi Gayo Alas (KSK-DTGA). Dalam konteks keberlanjutan pembangunan Aceh ke depan, Pemerintah Aceh perlu mengusulkan satu kawasan lagi di Aceh sebagai kawasan ekonomi khusus, yakni kawasan pantai Barat-Selatan yang mencakup delapan kabupaten/kota yaitu Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya (Abdya), Aceh Selatan, Kota Subulussalam, Aceh Singkil, dan Simeulue.
Kawasan pantai Barat-Selatan memiliki potensi ekonomi sangat besar. Ragam komoditas mulai dari sektor perikanan, pertanian, peternakan, perkebunan, kehutanan, pariwisata, energi, dan industri hingga perdagangan. Bahkan untuk komoditas seperti pala, cengkeh, dan serai wangi penghasil minyak atsiri, pantai Barat-Selatan adalah produsen utama penyuplai kebutuhan pasar dunia. Sementara untuk sektor perikanan, Aceh Singkil adalah pemasok utama ikan ke provinsi tetangga, Sumatera Utara. Pantai Barat-Selatan juga berpotensi mengalami booming ekonomi jika informasi kandungan minyak di lepas pantai Simeulue valid dan ditindaklanjuti dengan program eksplorasi.
Untuk mengelola dan memanfaatkan potensi besar ini, pantai Barat-Selatan juga didukung oleh infrastruktur dasar yang relatif memadai, seperti jalan nasional, jalan lingkar (Simeulue), pelabuhan (ikan, penyeberangan, barang) dan bandara, semuanya bisa menjadi penunjang pengembangan kawasan ekonomi khusus. Dengan potensi multisektor ini, KEK-PBSA sangat berpeluang mendapat dukungan dari tiga Kementerian Koordinator sekaligus; Ekonomi, Maritim, dan Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), tinggal bagaimana Pemerintah Aceh mampu meyakinkan pusat akan potensi besar KEK-PBSA ini.
Dalam tahap pelaksanaannya, KEK-PBSA dapat dikembangkan dalam sebuah skema komplementer (saling mengisi dan melengkapi) dengan kawasan strategis Aceh lainnya yang terhubung melalui jalur darat (jalan Babahrot-Terangon, dan Beutong-Takengon), dan udara (bandara Cut Nyak Dhien dan Kuala Batu-Rembele) dengan poros tengah. Sementara KSK-DTGA sendiri terhubung dengan KEK Arun melalau jalur darat (Jalan Simpang KKA-Bener Meriah, dan Bireuen-Takengon) dan udara (bandara Rembele-Malikussaleh-Senubung-Alas Leuser). Jadi, ketiga kawasan ini plus Sabang di ujung, secara terintegrasi akan hidup dan tumbuh bersama menjadi kekuatan utama ekonomiAceh di masa yang akan datang.
Manfaatkan momentum
Pemerintah Aceh harus memanfaatkan momentum. Ide program KEK-PBSA ini --dalam perspektif terintegrasi dengan kawasan strategis lainnya-- sejalan dan selaras dengan: Pertama, program kemaritiman (tol laut) dan program infrastruktur jalan tol Presiden Jokowi dalam rangka mendorong percepatan ekonomi; Kedua, dengan program pemerintah pusat melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang sedang mengembangkan konsep pariwisata Jalur Rempah di mana Aceh sebagai gerbang utama di wilayah Barat, jalur pantai Barat-Selatan telah disepakati sebagai satu titik pengembangan PJR Indonesia ke depan;
Pemerintah Aceh harus memanfaatkan momentum. Ide program KEK-PBSA ini --dalam perspektif terintegrasi dengan kawasan strategis lainnya-- sejalan dan selaras dengan: Pertama, program kemaritiman (tol laut) dan program infrastruktur jalan tol Presiden Jokowi dalam rangka mendorong percepatan ekonomi; Kedua, dengan program pemerintah pusat melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang sedang mengembangkan konsep pariwisata Jalur Rempah di mana Aceh sebagai gerbang utama di wilayah Barat, jalur pantai Barat-Selatan telah disepakati sebagai satu titik pengembangan PJR Indonesia ke depan;
Ketiga, dengan trend kunjungan wisatawan (domestik dan mancanegara) yang terus meningkat ke dua destinasi di pantai Barat Selatan yaitu Singkil-Pulau Banyak dan Simeulue yang kebetulan juga telah ditetapkan sebagai dua destinasi wisata unggulan Aceh (di luar Sabang) dalam RPJM pemerintah Irwandi-Nova, dan; Keempat, dengan rencana program Revitalisasi dan Reorientasi Tata Niaga Minyak Atsiri Aceh.
Khusus terkait tol darat, Pemerintah Aceh sesungguhnya bisa menangkap peluang dengan mengembangkan skema tol Sumut-Aceh bagian selatan. Rencana pemerintah pusat/Sumut membangun jalan tol dari Medan ke Danau Toba, dapat diusulkan oleh Pemerintah Aceh ke pusat agar dapat diteruskan melintasi Brastagi, Sidikalang, hingga ke Pakpak Barat terus ke Subulussalam dan Singkil. Pengembangan pariwisata Danau Toba sebagai satu proyek prioritas nasional dengan nilai investasi disebut-sebut mencapai puluhan triliun rupiah, oleh Pemerintah Aceh perlu dilihat secara positif sebagai vibrator yang ikut menstimulasi pembangunan kepariwisataan Aceh.
Dengan pendekatan connectivity yang menghubungkan destinasi-destinasi wisata unggulan di kedua daerah (wisata Danau Toba - wisata agro Tanah Karo - wisata bahari Pulau Banyak, bahkan Simeulue), maka Pemerintah Aceh perlu meyakinkan Pemda Sumut untuk mengajukan proposal program bersama ke pemerintah pusat, dengan berpijak pada prinsip mutual assistance and mutual benefit. Sehingga Aceh dan Sumut bisa saling share, tumbuh dan besar bersama sebagai pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia di wilayah Barat. Untuk itu perlu ada komunikasi lebih lanjut antara Gubernur Aceh dengan Gubernur Sumut.
Dari sisi laut, lalu lintas laut di sepanjang pantai Barat-Selatan mulai dari Aceh Jaya hingga Singkil dan Simeulue juga akan menjadi hidup dan aktif. Simultan dengan tumbuhnya industri yang juga akan terus didorong, mobilisasi dan distribusi komoditas antarwilayah dapat dilakukan lewat jalur laut melalui pelabuhan pengumpan, pengumpul, dan utama (ekspor-impor). Maka itu seyogyanya di pantai Barat-Selatan juga dapat dikembangkan satu pelabuhan ekspor-impor. Pelabuhan Surin di Abdya yang kini sedang dikembangkan mungkin dapat dijadikan pilihan karena posisinya yang strategis, persis berada di tengah kawasan dan merupakan daerah dengan akses terdekat ke Simeulue.
Dengan skema ini, pelabuhan-pelabuhan di Sabang sampai sepanjang pantai Barat-Selatan akan berfungsi secara maksimal menjadi urat nadi perekonomian Aceh. Selain itu, jalur laut juga dapat dijadikan pilihan utama distribusi barang untuk menggantikan jalan darat yang berpotensi rusak akibat mobilisasi dan distribusi komoditas menggunakan truk-truk bertonase besar/berat.
Hidupkan pariwisata
Satu sektor unggulan yang sangat berpeluang dimajukan di masa-masa akan datang di tiga kawasan, Sabang, poros Tengah, dan Barat-Selatan, adalah sektor kepariwisataan. Di samping terhubung dengan pariwisata Sumut, konektivitas di antara ketiganya secara bersama-sama dan kemplementer juga akan menghidupkan sektor kepariwisataan Aceh. Di sinilah jalur udara (penerbangan) menjadi penting. Didukung oleh keberadaan bandara-bandara kecil kabupaten/kota di tiga kawasan, pengembangan sektor kepariwisataan ini pada akhirnya akan menjadikan program SMK Penerbangan dan Kedirgantaraan Gubernur Irwandi menjadi semakin relevan.
Satu sektor unggulan yang sangat berpeluang dimajukan di masa-masa akan datang di tiga kawasan, Sabang, poros Tengah, dan Barat-Selatan, adalah sektor kepariwisataan. Di samping terhubung dengan pariwisata Sumut, konektivitas di antara ketiganya secara bersama-sama dan kemplementer juga akan menghidupkan sektor kepariwisataan Aceh. Di sinilah jalur udara (penerbangan) menjadi penting. Didukung oleh keberadaan bandara-bandara kecil kabupaten/kota di tiga kawasan, pengembangan sektor kepariwisataan ini pada akhirnya akan menjadikan program SMK Penerbangan dan Kedirgantaraan Gubernur Irwandi menjadi semakin relevan.
Pemerintah Aceh dapat berinvestasi di sektor ini dengan: Pertama, mengembangkan rute internasional dari Phuket, Langkawi, Penang (sudah), Kuala Lumpur, dan Singapura langsung ke Aceh; Kedua, menjual paket-paket pariwisata ekslusif melalui jalur udara dengan pesawat-pesawat kecil yang melayani rute pariwisata dari bandara Sultan Iskandar Muda tersebar ke Sabang, Bandara Cut Nyak Dhien, Kuala Batu, Hamzah Fanshuri, dan Lasikin di Barat-Selatan, dan bandara Rembele, Senubung, dan Alas Leuser di poros Tengah. Sementara untuk Pulau Banyak bisa menggunakan pesawat amfibi yang bisa landing di air, di bibir pantai di depan resort yang ingin dikunjungi wisatawan dan menjadi tempat mereka menginap.
Dengan skenario ini, program pesawat yang mulai dirintis oleh Gubernur Irwandi ke depan tidak sebatas untuk tujuan patroli hutan dan laut, tapi juga bisa dikembangkan untuk memajukan sektor kepariwisataan. Langkah ini tidak hanya memberi pemasukan buat Pemerintah Aceh, tapi juga dapat menghidupkan ekonomi sektor riil masyarakat pelaku usaha pariwisata di Aceh. Singkat kata, big picture skenario “Aceh Hebat” ini Insya Allah akan menghasilkan multiplier effect hingga berdampak positif dalam mengurangi disparitas antarwilayah, mendorong pertumbuhan industri pariwisata agro, perikanan, serta membuka peluang investasi dalam dan luar negeri.
Aceh (bersama Sumut) menjadi pusat pertumbuhan ekonomibaru Indonesia bagian Barat, akselarasi Aceh menjadi bagian pusat pertumbuhan ekonomi regional Asia Tenggara (IMT-GT), hingga menjadi exit strategy pascadana otsus. Berharap skenario ini mulus maka sangat mungkin ini menjadi solusi “sapu jagat” Aceh mengejar ketertinggalannya dari daerah lain, hingga pada satu titik kita bisa berharap pembangunan merata, kemakmuran dan kesejahteraan tercipta, stabilitas politik pun terjaga di Aceh. Semoga saja!
* Bulman Satar, praktisi pembangunan (email: bulman.satar03@gmail.com) dan Miswar Fuady, Sekjen DPP Partai Nanggroe Aceh - PNA (email: miswarfuady@gmail.com).