English
Monetize your website traffic with yX Media
Seorang wanita sedang memilih buku di perpustakaan. Foto/iStockphoto
Seorang wanita sedang memilih buku di perpustakaan.
IndonesiaKini- Demikian pertanyaan tipikal yang lazim dihadapi Intan Dita Wira Dwi Wahyuni dan Nisa Emirina Royan. Keduanya adalah alumni Program Studi Ilmu Perpustakaan, masing-masing di Universitas Brawijaya dan Universitas Airlangga.

Di masa-masa awal kuliah, mereka menghadapi stereotipe yang sama dari kerabatnya: prodi yang menjemukan dan lapangan kerjanya sempit.

Pada 2014, Dita memilih kuliah di Program Diploma Ilmu Perpustakaan dan Arsip Universitas Brawijaya, Malang. Awalnya itu bukanlah pilihan pertamanya.

Sebelumnya, ia lebih tertarik pada ilmu hukum atau komunikasi. Ilmu Perpustakaan masuk dalam opsinya karena prodi ini juga punya elemen-elemen dari dua bidang keilmuan sebelumnya. Setidak-tidaknya renjananya masih akan terakomodasi jika ia gagal lolos di prodi hukum atau komunikasi.

Dia lantas mencoba menggali informasi soal ketiga prodi itu lebih dalam. Ia juga sempat berkonsultasi dengan guru Bimbingan Konseling di sekolahnya untuk mendapat opini kedua. Tapi pada akhirnya ia memilih Ilmu Perpustakaan dan melepas dua opsi lainnya. Padahal kala itu ia sudah diterima di Prodi Komunikasi UIN Sunan Ampel, Surabaya. Jumlah peminat yang makin banyak dan pasar kerjanya yang sedang bagus jadi pertimbangan utamanya.

“Informasi akan selalu berkembang. Dari mulanya berbasis kertas hingga kini jadi digital, itu juga yang bikin aku lebih tertarik lagi memilih Ilmu Perpustakaan,” ujar Dita.

Pengalaman berbeda dialami Nisa. Jika Dita sudah sejak jauh hari memahami potensinya, Nisa memilih prodi ini karena arahan orang tuanya. Menurut orang tua Nisa yang pegawai negeri, ke depan tenaga pustakawan pasti akan dibutuhkan di perpustakaan sekolah mulai dari SD hingga SMA. Namun, Nisa merasa terjebak di prodi yang salah karena merasa itu bukan renjananya. Tahun-tahun awal kuliah pun ia lewatkan begitu saja sebagai mahasiwa kupu-kupu alias tipe kuliah-pulang. Ia baru merasa “tercerahkan” ketika memasuki tingkat akhir kuliah.

Saat itu ia meneliti tentang perilaku penemuan informasi mahasiswa yang sedang skripsi untuk skripsinya. Untuk riset ini ia mengaku harus melalui tahap-tahap riset yang njlimet betul, termasuk untuk riset literatur. Baginya itu menyusahkan dan dia tak terbiasa meriset sebelumnya. Saat itulah Nisa baru merasakan teknik-teknik riset dan literasi informasi yang dipelajari selama ini berguna.

“Sekarang aku bisa cari informasi atau referensi apapun yang aku butuhkan. Aku juga lebih peka dan tidak sembrono memamah informasi yang beredar,” kisah gadis yang kini jadi kepala Perpustakaan Adipadma di Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata, Kediri.

Meski beda pengalaman, baik Dita maupun Nisa sepakat pada satu hal: Prodi Ilmu Perpustakaan akan semakin penting seiring dengan perkembangan teknologi digital.

Belajar Apa? Ilmu Perpustakaan sebenarnya bukanlah prodi yang langka di Indonesia. Beberapa perguruan tinggi negeri besar seperti Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Universitas Airlangga, Universitas Padjajaran, dan Universitas Brawijaya sudah sejak lama membukanya. Namun, prodi ini memang tidak termasuk dalam radar prodi favorit dan bergengsi bagi siswa SMA. Jadi apa yang sebenarnya dipelajari di Ilmu Perpustakaan?

 “Pada intinya jurusan ilmu perpustakaan itu mempelajari bagaimana mengolah, mengelola dan mengkomunikasikan atau mendiseminasikan informasi. Informasi itu bisa dari banyak media, dari buku sampai digital. Lalu, bukan hanya soal teknis saja, tapi juga aspek manajerial perpustakaan dan arsip,” tutur dosen Prodi Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia, Tamara Adriani Salim.

Adalah sebuah keniscayaan setiap orang, lembaga, hingga perusahaan pasti menghasilkan rekaman dokumen dari kegiatan-kegiatannya. Berbagai sumber daya informasi mulai dari bahan pustaka, data, arsip, dokumen, bahan audio-visual dari berbagai jenis, format, maupun kemasan adalah objek yang akan digeluti oleh mahasiswa Ilmu Perpustakaan. Selain teori,
mahasiswa Prodi Ilmu Perpustakaan secara umum hal-hal teknis yang berkaitan dengan tata kelola informasi, membuat metadata buku untuk perpustakaan, kearsipan, cara merekod informasi, administrasi, sampai manajemen aset digital. Porsi praktik teknis ini lebih besar di jenjang diploma tinimbang jenjang sarjana.

“Salah satu mata kuliahku itu organisasi informasi. Aku belajar bagaimana menelusuri asal-usul suatu informasi, mengidentifikasi kata kunci, sampai berapa kali informasi itu dikutip. Di sini aku belajar mengidentifikasi dan mencegah plagiarisme,
” tutur Dita. Dalam aspek manejerial, mahasiswa akan berkenalan dengan berbagai jenis lembaga informasi. Tentu saja, sesuai nama prodi ini, mahasiswa akan berakrab-akrab dengan perpustakaan. Bentuk lembaga lain yang juga dicakup adalah pusat dokumentasi, lembaga arsip, hingga museum.
“Ada banyak hal yang jadi objek kajian manajemen ini. Mulai dari SDM-nya, administrasinya, pemasaran, soal keuangan sampai pada perilaku pemustaka,” terang Tamara. Lain itu, mahasiswa juga dibekali dengan dasar-dasar teknologi dan sistem informasi. Ini mencakup bagaimana merancang pangkalan data perpustakaan dan arsip, komputerisasi, hingga mengembangkan web dan jaringan perpustakaan. Pada pokoknya, adalah bagaimana teknologi memudahkan proses temu kembali informasi ketika dibutuhkan.
“Kalau ini materi-materi ini didalami, akan berguna banget di dunia kerja. Teman-temanku yang kerja di bidang teknologi informasi umumnya memang mulanya mendalami ini,
” tutur Nisa. Itu baru materi-materi umum yang dimiliki semua Prodi Ilmu Perpustakaan. Yang perlu diketahui juga, bahwa masing-masing Prodi Ilmu Perpustakaan itu punya kekhususan kajian. Universitas Brawijaya, misalnya, punya kekhasan pada aspek administrasi perpustakaan dan arsip.

Karenanya, prodi ini masuk di Fakultas Ilmu Administrasi. Sementara itu, Universitas Airlangga fokus pada aspek manajerial perpustakaan, maka itu ia masuk Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Lain lagi Universitas Padjajaran yang fokus pada aspek komunikasi dan pemasaran perpustakaan sehingga prodi ini masuk di Fakultas Ilmu Komunikasi.
“Kami di Universitas Indonesia fokus pada teknologi informasi dan organisasi informasi,” tutur Tamara. Prospek Meluas Jelasnya, prodi ini tidak sesederhana anggapan orang: sekadar mencetak petugas perpustakaan. Pustakawan hari ini pun punya pola pikir berbeda.
“Di awal perkuliahan dosenku menanamkan mindset sebagai reference librarian. Akhirnya aku bisa bilang ke mereka bahwa pustakawan itu nggak cuma menjaga atau menata buku, tapi mengembangkan perpustakaan sebagai pusat ilmu pengetahuan yang dinamis,
” tutur Dita yang kini aktif bergiat sebagai Kepala Divisi Advokasi di Malang Corruption Watch. Hal itu juga diamini Nisa.

Menurutnya, di tengah era digital sekarang ini pustakawan dituntut punya kemampuan literasi informasi yang efektif dan akurat. Ini penting untuk memacu dunia riset yang sedang tumbuh. Jadinya, pustakawan tak cuma mentok mengklasifikasi dan mengorganisasi buku, tapi juga bisa memberi rekomendasi. Ini hanya bisa dilakukan jika pustakawan paham isi buku.
“Teknik-teknik mengelola perpustakaan mungkin ya gitu-gitu doang. Tapi literasi informasi untuk riset ini terus berkembang, makanya penting banget sekarang,
” kata gadis penghobi fotografi analog ini. Jika mahasiswa kreatif, beberapa materi yang dipelajari selama kuliah juga bisa dimanfaatkan secara profesional. Nisa mencontohkan mata kuliah desain dan perencanaan ruang perpustakaan. Mata kuliah ini mengajari mahasiswa mendesain interior perpustakaan yang nyaman dan fungsional. Atau juga pengetahuan digitalisasi perpustakaan.
“Nah, skill-skill ini tuh biasa jadi kerjaan freelance teman-temanku. Mereka biasa menawarkan jasa pengembangan perpustakaan ke sekolah-sekolah. Sekolah butuh itu karena perpustakaan jadi elemen penilaian akreditasi sekolah,
” katanya. Dan lagi, anggapan bahwa perpustakaan itu melulu hanya tempat menyimpan dan pinjam buku sudah jadi usang. Dengan mekarnya perkembangan taman bacaan dan perpustakaan berbasis komunitas fungsi perpustakaan pun meluas. Perpustakaan kini adalah tempat diskusi, kerja kreatif, dan wahana kolaborasi.

Maka itu, prasangka lama bahwa prospek kerja pustakawan itu terbatas agaknya perlu di timbang ulang. Tamara juga menjelaskan, dengan bekal ilmu manajemen dan teknologi yang dipelajari selama kuliah itu, pustakawan sebenarnya punya potensi luas.

Dari pantauannya terhadap lulusan prodinya, mereka tidak melulu menempuh profesi linier sebagai pustakawan atau arsiparis, tapi juga terserap ke industri teknologi.
“Dikuliah mereka berkenalan dengan teknologi informasi dan kemudian berkreasi sendiri. Ketika mereka lulus setidaknya sudah terbiasa dengan teknologi. Tugas akhir sebagian mahasiswa juga berupa aplikasi sistem temu kembali, meski dalam bentuk sederhana dan spesifik untuk komunitas,
” kata Tamara. Dua contoh lulusan Prodi Ilmu Perpustakaan UI yang moncer di bidang teknologi adalah Hendro Wicaksono dan Arie Nugraha. Pada 2007 mereka menciptakan program open source katalogisasi buku digital Senayan Library Management System (SLiMS).

Program ini didesain berbasis web dan kompatibel dengan standar kepustakawanan internasional. Laman bisnis SWA menyebut dalam dua tahun SliMS berkembang pesat. Mengutip Hendro, Per April 2009 SLiMS sudah dipakai oleh 500 ribu pengguna.

Program ini sudah lazim digunakan oleh beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Tak hanya itu, SliMS juga dipakai di berbagai perpustakaan di luar negeri seperti di Banglasdeh, Thailand dan Italia.

Tim pengembang SLiMS yang dipimpin Arie dan Hendro pun sering diundang sebagai konsultan untuk membangun perpustakaan digital di dalam negeri dan luar negeri.(IK)
Lebih baru Lebih lama